Untuk Para Guru SD Putra Bangsa yang telah bekerja penuh kasih
Menurut saya, siswa harus belajar
menjaga dan merawat barang-barang milik mereka (sudah belajar saja masih tidak
merawat apa lagi tidak belajar). Sekadar mengingatkan, di sini ada kata
‘belajar’ yang artinya butuh proses. Jika orang dewasa mengambil bagian terlalu
besar di dalam menjaga dan merawat barang-barang milik anak, maka tanpa
pemaknaan yang benar dan penjelasan yang terang akan membuat sebagian anak akan
menjadi individu yang manja dan akhirnya tumbuh menjadi pribadi yang tidak
bertanggung jawab.
Saya dapat konfirmasi tentang topi
siswa. Topi itu memang berstatus dipinjamkan. Jadi itu properti sekolah. Tapi
pemakainya terang adalah siswa, sehingga tanggung jawab siswa seharusnya
semakin besar. Dia sudah memakai barang yang dipinjamkan maka dia pun harus
bertanggung jawab untuk menjaga dan merawatnya. Kesempatan siswa untuk belajar
bertanggung jawab akan muncul dari kondisi demikian. Siswa dapat membersihkan,
mengangin-anginkan, dan mengembalikan topi ke tempat yang ditentukan. Di dalam kegiatan sederhana seperti itu
anak-anak belajar mengembangkan sisi afektif mereka, bertanggung jawab (dan
aspek afektif lain).
Terkadang Guru secara spontan (yang
merupakan perpaduan kasih sayang, ketulusan, dan ketidaksadaran) mengambil alih
kegiatan-kegiatan semacam itu. Saya menghargai Guru-guru yang berbuat demikian dan
takzim saya terhadap sikap spontan dalam mengambil tindakan yang berhubungan
dengan kepentingan anak (jujur, saya belum tentu bisa punya spontanitas semacam
itu). Saya yakin bahwa spontanitas yang ditunjukkan oleh Ibu Guru lahir dari
kasih sayang yang tulus. Tapi, bila menyadari bahwa selain membutuhkan kasih
sayang, anak-anak juga butuh belajar untuk menemukan keunggulan diri melalui
kesempatan-kesempatan yang terwujud dalam kegiatan sederhana yang terkadang
‘sepele’, maka dengan memberikan kesempatan dengan membiarkan mereka
melakukan sendiri kegiatan secara terarah akan memberikan Guru kekuatan
ganda: to love dan to educate –Mengasihi dan Mendidik, sebuah
perpaduan dahsyat untuk mengubah individu menjadi pribadi yang lebih baik.
Bukankah kita bisa tetap memberikan kasih sayang dan kepedulian sembari
memberikan kesempatan siswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan secara mandiri?
Kasih sayang tercermin ketika kita memberikan
contoh dan petunjuk saat meminta anak-anak memindahkan meja mereka, sambil menolong
beberapa anak yang memang mengalami kesulitan.
Anak-anak tetap merasa disayang saat kita meminta mereka mengembalikan
kotak makanan mereka ke tempat yang seharusnya dengan sambil diberi pengertian
bahwa tindakan itu dilakukan oleh orang-orang baik yang bertanggung jawab. Anak-anak
masih merasa disayang karena kita peduli penampilan mereka dengan meminta
mereka merapikan pakaian mereka sendiri. Anak-anak masih merasa disayang ketika
kita tersenyum tulus sambil memberikan sehelai tissue dan meminta mereka membersihkan
sisa makanan yang tertinggal di sekitar mulut mereka, lalu menunjukkan
bagian-bagian yang masih belum bersih.
Seorang Guru Spiritual mengatakan
bahwa dengan berdasarkan motivasi kasih sayang akan membuat kita bertindak
lebih merdeka dan bebas dari rasa takut. Sekali lagi, saya yakin dengan penuh
takzim bahwa Bapak dan Ibu Guru SD Putra Bangsa telah memiliki motivasi kasih
sayang itu. Kita mau melakukan apa saja demi membantu anak didik kita menjadi
insan-insan yang lebih baik dengan cara apa pun. Tinggal saja sekarang kita
munculkan kesadaran bahwa: kita harus berupaya agar anak-anak tumbuh secara
utuh. Bersama dengan anak-anak, kita harus memanfaatkan setiap moment (waktu, kesempatan) di sekolah
untuk belajar, sekalipun sedang bermain, makan, ngobrol, dan lain sebagainya. Saya
yakin para Guru Putra Bangsa sudah melakukannya. ketika bermain, anak kita
ajarkan untuk bersikap adil dan ksatria. Anak ketika makan, kita tumbuhkan
sikap bersyukur, menghargai, dan bertanggung jawab. Anak ketika sedang ngobrol,
kita arahkan agar dialog-dialog menjadi bermakna. Jadi, marilah ini menjadi keyakinan kita
bersama bahwa kasih sayang adalah mutlak diperlukan dalam mendidik anak. Dengan
dorongan kasih sayang, pikiran luhur kita arahkan untuk selalu berupaya
mengarahkan segala usaha untuk kepentingan anak. Gampangnya, pikiran selalu
bertanya: anak bisa belajar apa melalui aktivitas ini, anak bisa mengembangkan
kemampuan/sikap apa dengan kegiatan semacam ini?
Belajar itu pencerapan, belajar
itu pencerahan, belajar itu berubah menjadi lebih baik. Sebelum mencapai
kesempurnaan hakiki (yang entah kapan bisa tercapai, tapi terus kita
berjuang!), yang sudah tercerapkan masih bisa lupa, yang sudah tercerahkan bisa
jadi gagal dipraktikkan, yang sudah berubah jadi baik terkadang masih bisa
khilaf. Anak-anak belajar dan kita sebagai Guru pun belajar. Karena belajar
masih bisa salah di sana-sini, jadi wajar sajalah. Tapi yang salah harus segera
dibetulkan agar menjadi benar. Benar menurut apa? Di dunia akademis, sesuatu dikatakan benar bila
ditopang dengan fakta dan pembuktian. Di dunia spiritualitas, ukuran benar
adalah jika sesuatu itu membawa
kebahagiaan bagi diri sendiri dan orang lain serta membawa kepada berkurangnya
kebencian, keserakahan, dan kebodohan batin. Kita menurut saja keduanya.
Setelah ini, mari kita semua
semangat membenahi apa yang bisa kita buat lebih baik agar sekolah kita dapat
memberikan yang terbaik bagi anak-anak didik kita tercinta.
Klaten, 15 November 2011
Mettacittena dan jabat erat,
Adi