Friday, November 18, 2011

Tentang Camping G3-1112

Camping siswa kelas 3 setiap tahun selalu punya cerita yang menarik. Dari kegiatan camping satu malam ini terkuak fakta bahwa yang sebenarnya punya masalah keterikatan atau ketergantungan terhadap keluarga adalah orangtua siswa. Meminjam istilah psikologi, orangtua itu insecure –merasa tidak aman, tidak nyaman, merasa ada yang hilang. Ada orangtua yang tidak bisa tidur gara-gara anak tersayang tidak berada di dekatnya. Ada orangtua yang gelisah karena kehilangan ‘bau’ dan ‘suara’ sang anak. Ada orangtua yang ngotot minta ikut tidur di sekitar lokasi camping dengan alasan tidak bisa tidur kalau tidak ada si anak. Ada orangtua yang datang ke guru dengan air mata lara karena kuatir anaknya tidak bisa tidur. Padahal mereka tidak tahu, si anak yang mereka kuatirkan baik-baik saja. Mereka hepi-hepi saja.

Itulah kekuatan kebersamaan dan kekuatan kasih sayang Guru. Anak-anak yang terikat common share, common goals, dipadu dengan kasih sayang guru akan menjadi mudah untuk merasa aman, secure. Perasaan itulah yang membuat mereka merasa di rumah atau di lokasi camping sama saja, sama-sama aman dan menyenangkan (atau bahkan camping lebih menyenangkan daripada di rumah).

Setiap kegiatan yang diadakan Putra Bangsa selalu punya ciri khas yang khusus. Sejauh saya berkunjung ke berbagai sekolah di Klaten untuk tujuan penelitian, saya belum menemukan ciri ini. Bahwa setiap guru, semua guru ikut terlibat dalam merumuskan hingga mem-paripurna-kan kegiatan secara serentak atau bergilir. Keterlibatan mulai dari hal ‘kecil’ sampai hal ‘besar’. Inilah kekuatan Guru-guru Putra Bangsa. Di tengah-tengah kesibukan menyelesaikan rutinitas masing-masing, setiap Guru berusaha untuk ikut andil dalam kegiatan-kegiatan sekolah.

Well, dengan rasa kagum dan mettacittena saya membuat catatan kecil ini untuk mengapresiasi semua upaya yang telah dilakukan oleh para Guru. Semoga Ibu dan Bapak sekalian bahagia dan sejahtera. Semoga yang terbaik datang pada kita semua.

Klaten, 18 November 2011

Dee

Tuesday, November 15, 2011

Tentang Kasih Sayang, Mendidik, dan Maaf


Untuk Para Guru SD Putra Bangsa yang telah bekerja penuh kasih

Menurut saya, siswa harus belajar menjaga dan merawat barang-barang milik mereka (sudah belajar saja masih tidak merawat apa lagi tidak belajar). Sekadar mengingatkan, di sini ada kata ‘belajar’ yang artinya butuh proses. Jika orang dewasa mengambil bagian terlalu besar di dalam menjaga dan merawat barang-barang milik anak, maka tanpa pemaknaan yang benar dan penjelasan yang terang akan membuat sebagian anak akan menjadi individu yang manja dan akhirnya tumbuh menjadi pribadi yang tidak bertanggung jawab.
Saya dapat konfirmasi tentang topi siswa. Topi itu memang berstatus dipinjamkan. Jadi itu properti sekolah. Tapi pemakainya terang adalah siswa, sehingga tanggung jawab siswa seharusnya semakin besar. Dia sudah memakai barang yang dipinjamkan maka dia pun harus bertanggung jawab untuk menjaga dan merawatnya. Kesempatan siswa untuk belajar bertanggung jawab akan muncul dari kondisi demikian. Siswa dapat membersihkan, mengangin-anginkan, dan mengembalikan topi ke tempat yang ditentukan.  Di dalam kegiatan sederhana seperti itu anak-anak belajar mengembangkan sisi afektif mereka, bertanggung jawab (dan aspek afektif lain).
Terkadang Guru secara spontan (yang merupakan perpaduan kasih sayang, ketulusan, dan ketidaksadaran) mengambil alih kegiatan-kegiatan semacam itu. Saya menghargai Guru-guru yang berbuat demikian dan takzim saya terhadap sikap spontan dalam mengambil tindakan yang berhubungan dengan kepentingan anak (jujur, saya belum tentu bisa punya spontanitas semacam itu). Saya yakin bahwa spontanitas yang ditunjukkan oleh Ibu Guru lahir dari kasih sayang yang tulus. Tapi, bila menyadari bahwa selain membutuhkan kasih sayang, anak-anak juga butuh belajar untuk menemukan keunggulan diri melalui kesempatan-kesempatan yang terwujud dalam kegiatan sederhana yang terkadang ‘sepele’, maka dengan memberikan kesempatan dengan membiarkan mereka melakukan sendiri kegiatan secara terarah akan memberikan Guru kekuatan ganda: to love dan to educate –Mengasihi dan Mendidik, sebuah perpaduan dahsyat untuk mengubah individu menjadi pribadi yang lebih baik. Bukankah kita bisa tetap memberikan kasih sayang dan kepedulian sembari memberikan kesempatan siswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan secara mandiri?
 Kasih sayang tercermin ketika kita memberikan contoh dan petunjuk saat meminta anak-anak memindahkan meja mereka, sambil menolong beberapa anak yang memang mengalami kesulitan.  Anak-anak tetap merasa disayang saat kita meminta mereka mengembalikan kotak makanan mereka ke tempat yang seharusnya dengan sambil diberi pengertian bahwa tindakan itu dilakukan oleh orang-orang baik yang bertanggung jawab. Anak-anak masih merasa disayang karena kita peduli penampilan mereka dengan meminta mereka merapikan pakaian mereka sendiri. Anak-anak masih merasa disayang ketika kita tersenyum tulus sambil memberikan sehelai tissue dan meminta mereka membersihkan sisa makanan yang tertinggal di sekitar mulut mereka, lalu menunjukkan bagian-bagian yang masih belum bersih.
Seorang Guru Spiritual mengatakan bahwa dengan berdasarkan motivasi kasih sayang akan membuat kita bertindak lebih merdeka dan bebas dari rasa takut. Sekali lagi, saya yakin dengan penuh takzim bahwa Bapak dan Ibu Guru SD Putra Bangsa telah memiliki motivasi kasih sayang itu. Kita mau melakukan apa saja demi membantu anak didik kita menjadi insan-insan yang lebih baik dengan cara apa pun. Tinggal saja sekarang kita munculkan kesadaran bahwa: kita harus berupaya agar anak-anak tumbuh secara utuh. Bersama dengan anak-anak, kita harus memanfaatkan setiap moment (waktu, kesempatan) di sekolah untuk belajar, sekalipun sedang bermain, makan, ngobrol, dan lain sebagainya. Saya yakin para Guru Putra Bangsa sudah melakukannya. ketika bermain, anak kita ajarkan untuk bersikap adil dan ksatria. Anak ketika makan, kita tumbuhkan sikap bersyukur, menghargai, dan bertanggung jawab. Anak ketika sedang ngobrol, kita arahkan agar dialog-dialog menjadi bermakna.  Jadi, marilah ini menjadi keyakinan kita bersama bahwa kasih sayang adalah mutlak diperlukan dalam mendidik anak. Dengan dorongan kasih sayang, pikiran luhur kita arahkan untuk selalu berupaya mengarahkan segala usaha untuk kepentingan anak. Gampangnya, pikiran selalu bertanya: anak bisa belajar apa melalui aktivitas ini, anak bisa mengembangkan kemampuan/sikap apa dengan kegiatan semacam ini?
Belajar itu pencerapan, belajar itu pencerahan, belajar itu berubah menjadi lebih baik. Sebelum mencapai kesempurnaan hakiki (yang entah kapan bisa tercapai, tapi terus kita berjuang!), yang sudah tercerapkan masih bisa lupa, yang sudah tercerahkan bisa jadi gagal dipraktikkan, yang sudah berubah jadi baik terkadang masih bisa khilaf. Anak-anak belajar dan kita sebagai Guru pun belajar. Karena belajar masih bisa salah di sana-sini, jadi wajar sajalah. Tapi yang salah harus segera dibetulkan agar menjadi benar. Benar menurut apa? Di dunia akademis, sesuatu dikatakan benar bila ditopang dengan fakta dan pembuktian. Di dunia spiritualitas, ukuran benar adalah jika sesuatu itu membawa kebahagiaan bagi diri sendiri dan orang lain serta membawa kepada berkurangnya kebencian, keserakahan, dan kebodohan batin. Kita  menurut saja keduanya.
Setelah ini, mari kita semua semangat membenahi apa yang bisa kita buat lebih baik agar sekolah kita dapat memberikan yang terbaik bagi anak-anak didik kita tercinta.



Klaten, 15 November 2011

Mettacittena dan jabat erat,


Adi