Pada suatu waktu, ada sebuah
koloni lebah yang hidup di Bukit Utara. Lebah-lebah yang tinggal di Bukit Utara
hidup dengan aman dan tenteram. Bila para lebah pencari nektar terbang
menyusuri lembah ke bawah bukit, akan terhampar aneka bunga cantik warna-warni.
Bunga-bunga itu tumbuh subur dan tersebar hampir di seluruh lembah karena
bantuan lebah-lebah. Para Bunga pun dengan penuh suka cita menyediakan nektar-nektar
segar mereka buat para lebah.
Di koloni lebah Bukit Utara,
terdapat sekolah untuk para lebah muda. Di sekolah itu, para lebah diajarkan
untuk memilih bunga yang nektarnya siap diambil, mereka diajarkan cara untuk
mengambil sekaligus membantu bunga melakukan penyerbukan, dan mereka juga
diajarkan untuk saling menjaga dan mengasihi. Sekolah lebah itu begitu
hidup. Begitu ceria. Setiap siswa lebah di sana punya kisah. Berikut ini adalah
kisah lebah-lebah muda yang belajar di sekolah itu.
Don adalah satu di antara
beribu-ribu lebah muda yang menjadi murid di sekolah itu. Dari dulu Don memang
berbeda. Ketika teman-temannya telah mampu terbang sejauh 1 km, Don hanya mampu
200 meter. Ketika teman-temannya sudah bisa mengetahui bunga yang sudah siap
untuk diambil nektarnya, Don masih kesulitan membedakan antara bunga dengan
daun. Don memang ketinggalan dibandingkan teman-temannya. Sewaktu bayi, Don
pernah terjatuh dari sarangnya akibat hujan badai hebat menerjang Bukit Utara.
Akibat jatuh dari sarangnya yang tinggi dan terhempas hujan badai, ada sensor
lebah milik Don yang tidak bekerja dengan baik.
Don tidak mudah menyerah. Tatkala
teman-temannya beristirahat setelah usai belajar, Don masih tinggal di kelas
untuk belajar. Sesekali Don terbang keluar membuktikan hal yang sedang dia
pelajari. Don tidak sendiri sewaktu dia berjuang untuk mengejar ketinggalannya.
Dia ditemani oleh Nan dan Tra. Walau Nan dan Tra sudah menyelesaikan
pelajarannya, mereka sesekali tinggal di kelas untuk sekadar menemani Don.
Ada kalanya Nan dan Tra jengkel
terhadap Don. Bagi teman-teman, Don sebenarnya lebah yang baik hati, hanya saja
karena Don sering bertingkah laku berbeda dengan teman-teman yang lain, Don acapkali
membuat Nan dan Tra serta teman-teman lain menjadi jengkel. Ketika semuanya
tenang belajar di dalam kelas, Don sering tiba-tiba terbang kian kemari di
dalam kelas. Ada pula suatu waktu, ketika semua lebah diberi tugas memilih nektar
dari tanaman rambutan, Don malah terbang mengumpulkan nektar dari tanaman jambu
air. Don memang selalu punya pendapatnya sendiri. Bu guru lebah Otto memahami
Don. Sensor lebah Don mengatakan bahwa saat itu nektar jambu air sedang
banyak-banyaknya. Tetapi, tidak semua teman-teman memahami Don. Nan dan Tra
yang sering menemani Don terkadang lupa kalau Don memang berbeda.
Suatu hari di dalam kelas, Don
terlihat amat sedih. Bu guru Otto melihatnya lalu menghampiri Don.
“Ada apa, Don?” Tanya Bu Otto.
“Mengapa Nan akhir-akhir ini
menjauhi saya, ya Bu?” Don balik bertanya.
Bu Otto menghela napas panjang. Bu
Otto tahu kalau Nan memang sengaja menjauhi Don beberapa waktu ini. Nan terlihat
terbang jauh-jauh ketika Don mulai mendekatinya. Biasanya Nan sangat senang
bila Don membantu membuka kelopak bunga agar nektarnya mudah diambil Nan, tapi
sekarang Nan malah terlihat sewot jika Don terbang menghampirinya.
Bu Otto dengan lemah lembut membelai
sayap Don dan berkata, “Don, mungkin Nan sedang ada masalah yang membuat dia
butuh waktu untuk dirinya sendiri.”
Don mengangkat wajahnya dan
menatap wajah Bu Otto dengan penuh ragu, “Kalau memang punya masalah, bukankah
lebih baik kalau diselesaikan bersama-sama? Pasti masalahnya cepat selesai, kan
Bu?”
Lagi-lagi Bu Otto menghela napas
panjang. Dia tahu kalau muridnya satu ini memang punya cara pandang yang
berbeda terhadap suatu masalah.
“Berilah Nan waktu dua sampai tiga hari untuk
dia sendiri dulu. Kemudian baru kamu temui dia dan ajak bicara, OK?” Saran Bu
Otto.
Don hanya mengangguk dengan berat
hati lalu melangkah meninggalkan Bu Otto. Dengan separuh menoleh, Don berkata, “Terima
kasih, ya Bu.” Don lalu terbang ogah-ogahan meninggalkan kelasnya.
Bu Otto berbicara dengan Bu Niti perihal
masalah Don dan Nan. “Hmm.. sepertinya aku harus mengajak Nan untuk bicara.”
Kata Bu Niti di akhir pembicaraannya dengan Bu Otto. Dengan segera Bu Niti terbang di sekitar kelas mencari Nan.
Terlihat Nan dan Tra serta
beberapa teman sedang berkumpul di gudang pengumpulan nektar.
“Hai, anak-anak…”
Sapa Bu Niti.
“Selamat siang, Bu!” Balas
anak-anak serentak.
“Ibu perlu bicara sebentar dengan
Nan. Bolehkan, Nan?” Ajak Bu Niti. Nan pun datang mendekati Bu Niti.
“Ada apa, Bu?” Tanya Nan.
“Ibu tahu kalau kamu sedang ada
masalah dengan Don.” Kata Bu Niti. Nan menundukkan kepala dan sayapnya layu
lemas. Lalu Nan mengangguk perlahan.
“Bukan hanya saya yang sedang
punya masalah dengan Don, Bu. Teman-teman lain juga.” Nan berkata dengan
murung.
Bu Niti mengangguk.
“Iya, Ibu tahu. Ibu ke sini mau memberi tahu
Nan sesuatu. Nan tahu tidak kalau Nan itu teman yang berharga buat Don?”
Nan
menggelengkan kepalanya.
Ibu Niti melanjutkan, “Nan, Tuhan
menciptakan kita sebagai lebah yang mengumpulkan nektar sekaligus membantu
bunga-bunga tumbuh. Selain itu, Tuhan menciptakan kita untuk saling bekerja
sama, hal ini yang membuat kita menjadi makhluk teladan. Memang, terkadang kita
tidak bisa memilih teman macam apa yang hadir di kehidupan kita untuk bekerja
bersama kita.”
Nan mengangkat kepalanya.
“Dan, kamu tahu, Nan? Tuhan
mengirimkan kamu untuk menjadi teman bagi Don. Don menganggap bahwa kamu adalah
temannya yang paling baik.” Kata Bu Niti sambil menatap Nan dengan lembut.
Nan menatap Bu Niti dengan heran,
“Dari mana Ibu tahu?” Tanya Nan.
“Ibu pernah bertanya pada Don
dulu sekali. Don, sebutkan tiga teman yang kamu anggap paling baik! Lalu Don
menjawab, satu, Nan, dua si Tra, yang ketiga si Rei.”
Mendengar itu, tiba-tiba, mata
Nan berkaca-kaca. Bu Niti membelai sayap Nan dengan lembut persis yang
dilakukan oleh Bu Otto kepada Don.
“Cobalah menerima Don apa adanya,
Nan? Kalau dia bertingkah laku yang menurutmu tidak seperti teman-teman yang
lain, anggap saja dia teman yang unik.” “Selama tingkah laku itu tidak melanggar
aturan.” Lanjut Bu Niti.
Nan mengangguk sambil mengusap
matanya yang mulai meneteskan air mata. “Terima kasih, ya Bu.”
Bu Niti mengangguk sambil terus
membelai sayap Nan. “Kalau begitu, sekarang kembalilah ke teman-temanmu.”
Lalu Nan terbang meninggalkan Bu
Niti. Tapi dia tidak kembali ke teman-temannya yang sedang ngobrol di dekat
gudang nektar. Nan terbang menuju kelasnya.
Esok harinya, Bu Otto datang
menemui Bu Niti.
“Selamat pagi, Bu Niti!” Sapa Bu
Otto dengan penuh senyum. “Apa yang Ibu sampaikan ke Nan kemarin?” Tanya Bu
Otto.
Bu Niti memberitahu Bu Otto semua
yang dibicarakannya dengan Nan kemarin.
“Huaaahahahaha…” Bu Otto tertawa
terbahak-bahak seusai mendengar cerita Bu Niti. “Walah, Bu.. Bu…” Kata Bu Otto sambil
mencoba mengatur napas untuk bicara.
Bu Niti senyum terheran-heran
mendapati Bu Otto yang tertawa setelah mendengar ceritanya.
“Ibu Niti tahu apa yang terjadi
kemarin setelah Ibu bicara dengan Nan?” Tanya Bu Otto setelah berhasil
menghentikan tawanya, tapi masih dengan muka menahan tawa.
Bu Niti menggelengkan kepala
penasaran sambil tersenyum geli karena melihat muka merah Bu Otto yang menahan
tawa. “Ada apa, sih?” Tanya Bu Niti heran.
Bu Otto menjelaskan bahwa si Nan
kembali ke kelas setelah diajak bicara oleh Bu Niti . Di kelas dia malah
termenung dengan mata berkaca-kaca. Lalu, Bu Otto mendekati Nan dan bertanya, “Ada
apa, Nan? Sudah ketemu dan bicara dengan Bu Niti?”
Nan mengangguk.
Bu Otto melanjutkan “Nan sudah mengerti
sekarang? Mengapa Nan berharga bagi Don?”
Nan kembali mengangguk. “Tapi,
mengapa...?” Gumam Nan dengan mulai terisak.
“Mengapa apa, Nan” Tanya Bu Otto.
“Mengapa, Bu?” Tanya Nan dengan
suara yang mulai membesar dan tangisan yang mulai keras.
“Ya, apa yang kamu mau tanyakan,
Nan?” Bu Otto penasaran. Dengan perlahan Bu Otto membelai Nan.
Dengan terisak-isak Nan berkata, “Tapi,
mengapa, Bu? Mengapa Rei yang nomor tiga?” Pecahlah tangis Nan.
Bu Otto kebingungan, “Apanya yang
nomor tiga? Rei nomor tiga maksudnya apa?”
Dengan menahan isak tangis, Nan
menjawab , “Bu Niti pernah tanya Don, urutan teman yang paling baik buat dia. Saya nomor satu, Tra nomor dua, Rei nomor
tiga.”
“Mengapa Rei nomor tiga, Bu? Rei
kan baik.” Sambil melanjutkan isak tangisnya.
Mendengar cerita itu, Bu Niti dan
Bu Otto tertawa tak tertahankan.
“Dasar, anak-anak…” Kata Bu Niti
sambil tertawa.