Tuesday, December 31, 2013

Don dan Nan si Lebah Unik

Pada suatu waktu, ada sebuah koloni lebah yang hidup di Bukit Utara. Lebah-lebah yang tinggal di Bukit Utara hidup dengan aman dan tenteram. Bila para lebah pencari nektar terbang menyusuri lembah ke bawah bukit, akan terhampar aneka bunga cantik warna-warni. Bunga-bunga itu tumbuh subur dan tersebar hampir di seluruh lembah karena bantuan lebah-lebah. Para Bunga pun dengan penuh suka cita menyediakan nektar-nektar segar mereka buat para lebah.

Di koloni lebah Bukit Utara, terdapat sekolah untuk para lebah muda. Di sekolah itu, para lebah diajarkan untuk memilih bunga yang nektarnya siap diambil, mereka diajarkan cara untuk mengambil sekaligus membantu bunga melakukan penyerbukan, dan mereka juga diajarkan untuk saling menjaga dan mengasihi. Sekolah lebah itu begitu hidup. Begitu ceria. Setiap siswa lebah di sana punya kisah. Berikut ini adalah kisah lebah-lebah muda yang belajar di sekolah itu.

Don adalah satu di antara beribu-ribu lebah muda yang menjadi murid di sekolah itu. Dari dulu Don memang berbeda. Ketika teman-temannya telah mampu terbang sejauh 1 km, Don hanya mampu 200 meter. Ketika teman-temannya sudah bisa mengetahui bunga yang sudah siap untuk diambil nektarnya, Don masih kesulitan membedakan antara bunga dengan daun. Don memang ketinggalan dibandingkan teman-temannya. Sewaktu bayi, Don pernah terjatuh dari sarangnya akibat hujan badai hebat menerjang Bukit Utara. Akibat jatuh dari sarangnya yang tinggi dan terhempas hujan badai, ada sensor lebah milik Don yang tidak bekerja dengan baik.  

Don tidak mudah menyerah. Tatkala teman-temannya beristirahat setelah usai belajar, Don masih tinggal di kelas untuk belajar. Sesekali Don terbang keluar membuktikan hal yang sedang dia pelajari. Don tidak sendiri sewaktu dia berjuang untuk mengejar ketinggalannya. Dia ditemani oleh Nan dan Tra. Walau Nan dan Tra sudah menyelesaikan pelajarannya, mereka sesekali tinggal di kelas untuk sekadar menemani Don.

Ada kalanya Nan dan Tra jengkel terhadap Don. Bagi teman-teman, Don sebenarnya lebah yang baik hati, hanya saja karena Don sering bertingkah laku berbeda dengan teman-teman yang lain, Don acapkali membuat Nan dan Tra serta teman-teman lain menjadi jengkel. Ketika semuanya tenang belajar di dalam kelas, Don sering tiba-tiba terbang kian kemari di dalam kelas. Ada pula suatu waktu, ketika semua lebah diberi tugas memilih nektar dari tanaman rambutan, Don malah terbang mengumpulkan nektar dari tanaman jambu air. Don memang selalu punya pendapatnya sendiri. Bu guru lebah Otto memahami Don. Sensor lebah Don mengatakan bahwa saat itu nektar jambu air sedang banyak-banyaknya. Tetapi, tidak semua teman-teman memahami Don. Nan dan Tra yang sering menemani Don terkadang lupa kalau Don memang berbeda.

Suatu hari di dalam kelas, Don terlihat amat sedih. Bu guru Otto melihatnya lalu menghampiri Don.

“Ada apa, Don?” Tanya Bu Otto.

“Mengapa Nan akhir-akhir ini menjauhi saya, ya Bu?” Don balik bertanya. 

Bu Otto menghela napas panjang. Bu Otto tahu kalau Nan memang sengaja menjauhi Don beberapa waktu ini. Nan terlihat terbang jauh-jauh ketika Don mulai mendekatinya. Biasanya Nan sangat senang bila Don membantu membuka kelopak bunga agar nektarnya mudah diambil Nan, tapi sekarang Nan malah terlihat sewot jika Don terbang menghampirinya.

Bu Otto dengan lemah lembut membelai sayap Don dan berkata, “Don, mungkin Nan sedang ada masalah yang membuat dia butuh waktu untuk dirinya sendiri.”

Don mengangkat wajahnya dan menatap wajah Bu Otto dengan penuh ragu, “Kalau memang punya masalah, bukankah lebih baik kalau diselesaikan bersama-sama? Pasti masalahnya cepat selesai, kan Bu?”

Lagi-lagi Bu Otto menghela napas panjang. Dia tahu kalau muridnya satu ini memang punya cara pandang yang berbeda terhadap suatu masalah. 

“Berilah Nan waktu dua sampai tiga hari untuk dia sendiri dulu. Kemudian baru kamu temui dia dan ajak bicara, OK?” Saran Bu Otto.

Don hanya mengangguk dengan berat hati lalu melangkah meninggalkan Bu Otto. Dengan separuh menoleh, Don berkata, “Terima kasih, ya Bu.” Don lalu terbang ogah-ogahan meninggalkan kelasnya.

Bu Otto berbicara dengan Bu Niti perihal masalah Don dan Nan. “Hmm.. sepertinya aku harus mengajak Nan untuk bicara.” Kata Bu Niti di akhir pembicaraannya dengan Bu Otto. Dengan segera Bu Niti  terbang di sekitar kelas mencari Nan.

Terlihat Nan dan Tra serta beberapa teman sedang berkumpul di gudang pengumpulan nektar. 

“Hai, anak-anak…” Sapa Bu Niti.

“Selamat siang, Bu!” Balas anak-anak serentak.

“Ibu perlu bicara sebentar dengan Nan. Bolehkan, Nan?” Ajak Bu Niti. Nan pun datang mendekati Bu Niti.

“Ada apa, Bu?” Tanya Nan.

“Ibu tahu kalau kamu sedang ada masalah dengan Don.” Kata Bu Niti. Nan menundukkan kepala dan sayapnya layu lemas. Lalu Nan mengangguk perlahan.

“Bukan hanya saya yang sedang punya masalah dengan Don, Bu. Teman-teman lain juga.” Nan berkata dengan murung.

Bu Niti mengangguk.

“Iya, Ibu tahu. Ibu ke sini mau memberi tahu Nan sesuatu. Nan tahu tidak kalau Nan itu teman yang berharga buat Don?” 

Nan menggelengkan kepalanya.

Ibu Niti melanjutkan, “Nan, Tuhan menciptakan kita sebagai lebah yang mengumpulkan nektar sekaligus membantu bunga-bunga tumbuh. Selain itu, Tuhan menciptakan kita untuk saling bekerja sama, hal ini yang membuat kita menjadi makhluk teladan. Memang, terkadang kita tidak bisa memilih teman macam apa yang hadir di kehidupan kita untuk bekerja bersama kita.”

Nan mengangkat kepalanya.

“Dan, kamu tahu, Nan? Tuhan mengirimkan kamu untuk menjadi teman bagi Don. Don menganggap bahwa kamu adalah temannya yang paling baik.” Kata Bu Niti sambil menatap Nan dengan lembut.

Nan menatap Bu Niti dengan heran, “Dari mana Ibu tahu?” Tanya Nan.

“Ibu pernah bertanya pada Don dulu sekali. Don, sebutkan tiga teman yang kamu anggap paling baik! Lalu Don menjawab, satu, Nan, dua si Tra, yang ketiga si Rei.”

Mendengar itu, tiba-tiba, mata Nan berkaca-kaca. Bu Niti membelai sayap Nan dengan lembut persis yang dilakukan oleh Bu Otto kepada Don.

“Cobalah menerima Don apa adanya, Nan? Kalau dia bertingkah laku yang menurutmu tidak seperti teman-teman yang lain, anggap saja dia teman yang unik.” “Selama tingkah laku itu tidak melanggar aturan.” Lanjut Bu Niti.

Nan mengangguk sambil mengusap matanya yang mulai meneteskan air mata. “Terima kasih, ya Bu.”

Bu Niti mengangguk sambil terus membelai sayap Nan. “Kalau begitu, sekarang kembalilah ke teman-temanmu.”

Lalu Nan terbang meninggalkan Bu Niti. Tapi dia tidak kembali ke teman-temannya yang sedang ngobrol di dekat gudang nektar. Nan terbang menuju kelasnya.

Esok harinya, Bu Otto datang menemui Bu Niti.

“Selamat pagi, Bu Niti!” Sapa Bu Otto dengan penuh senyum. “Apa yang Ibu sampaikan ke Nan kemarin?” Tanya Bu Otto.

Bu Niti memberitahu Bu Otto semua yang dibicarakannya dengan Nan kemarin.

“Huaaahahahaha…” Bu Otto tertawa terbahak-bahak seusai mendengar cerita Bu Niti. “Walah, Bu.. Bu…” Kata Bu Otto sambil mencoba mengatur napas untuk bicara.

Bu Niti senyum terheran-heran mendapati Bu Otto yang tertawa setelah mendengar ceritanya.

“Ibu Niti tahu apa yang terjadi kemarin setelah Ibu bicara dengan Nan?” Tanya Bu Otto setelah berhasil menghentikan tawanya, tapi masih dengan muka menahan tawa.

Bu Niti menggelengkan kepala penasaran sambil tersenyum geli karena melihat muka merah Bu Otto yang menahan tawa. “Ada apa, sih?” Tanya Bu Niti heran.

Bu Otto menjelaskan bahwa si Nan kembali ke kelas setelah diajak bicara oleh Bu Niti . Di kelas dia malah termenung dengan mata berkaca-kaca. Lalu, Bu Otto mendekati Nan dan bertanya, “Ada apa, Nan? Sudah ketemu dan bicara dengan Bu Niti?”

Nan mengangguk.

Bu Otto melanjutkan “Nan sudah mengerti sekarang? Mengapa Nan berharga bagi Don?”

Nan kembali mengangguk. “Tapi, mengapa...?” Gumam Nan dengan mulai terisak.

“Mengapa apa, Nan” Tanya Bu Otto.

“Mengapa, Bu?” Tanya Nan dengan suara yang mulai membesar dan tangisan yang mulai keras.

“Ya, apa yang kamu mau tanyakan, Nan?” Bu Otto penasaran. Dengan perlahan Bu Otto membelai Nan.

Dengan terisak-isak Nan berkata, “Tapi, mengapa, Bu? Mengapa Rei yang nomor tiga?” Pecahlah tangis Nan.

Bu Otto kebingungan, “Apanya yang nomor tiga? Rei nomor tiga maksudnya apa?”

Dengan menahan isak tangis, Nan menjawab , “Bu Niti pernah tanya Don, urutan teman yang paling baik buat dia.  Saya nomor satu, Tra nomor dua, Rei nomor tiga.”

“Mengapa Rei nomor tiga, Bu? Rei kan baik.” Sambil melanjutkan isak tangisnya.

Mendengar cerita itu, Bu Niti dan Bu Otto tertawa tak tertahankan.

“Dasar, anak-anak…” Kata Bu Niti sambil tertawa.



Monday, June 17, 2013

Ortu Hebat

Dear G1/Happy Parents…

My goodness!! Bercampur aduk rasa yang muncul ketika saya menyaksikan latihan yang dilakukan oleh Para Orangtua dan siswa G1. Rasa haru, suka cita, dan bangga muncul menjadi satu ekspresi: AMAZING! Sejak enam tahun berdirinya SD Putra Bangsa, baru kali ini ada pertunjukan panggung yang dipersembahkan oleh seluruh siswa satu kelas dengan melibatkan hampir seluruh Orangtua. So, Great Parents, you made a history! Inilah suatu kisah kerja sama yang baik antarorangtua dan anak dalam sejarah Pentas Seni di Putra Bangsa. Semoga ini dapat menjadi inspirasi bagi seluruh Orangtua/Wali siswa. Bahkan peristiwa ini sudah memberi inspirasi kepada saya –sempat muncul di benak bahwa pada penerimaan siswa baru mendatang harus mensyaratkan Orangtua wajib/harus berkenan tampil di panggung Pentas Seni Sekolah…. J

Bila semangat kerja sama antarorangtua ini dapat berlanjut di ajang-ajang kegiatan sekolah yang lain apa lagi berkembang dalam berbagai hal di masa perjalanan pendidikan Anak-anak, saya yakin generasi siswa G1 Putra Bangsa kelak akan menjadi pribadi-pribadi yang humanis. Anak-anak akan belajar dari Orangtuanya tentang kerukunan, keberagaman, semangat kerja sama, kreativitas, percaya diri, kerja keras, pengorbanan, dan kasih sayang.

Saya pribadi menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada Orangtua G1 dan para Siswa. Terima kasih telah mengorbankan waktu (khususnya Bapak) –menyempatkan diri berlatih dan tampil di Pentas Seni setelah lelah bekerja di rumah, toko, atau kantor. Terima kasih telah berupaya menjadi sumber inspirasi. Terima kasih telah menghibur. Terima kasih telah menjadi Ortu yang hebat! Semoga yang terbaik datang pada kita semua.


Salam hangat dan jabat erat,

Adi

Thursday, April 11, 2013

Surat untuk G4-Luminous dan G5-Marvelous 1213 Students, Tentang Pameran Karya Siswa

Klaten, 11 April 2013




Dear Luminous and Marvelous students,

Dua siswa panitia menghampiri Pak Adi di ruang kerja, Fernando dan Helen. Mereka mengundang Pak Adi untuk hadir menyaksikan pameran yang telah siap di ruang kelas. Segera Pak Adi naik ke ruang kelas atas dengan membawa handycam. Baru sebentar menyalakan handycam, Pak Adi sudah tidak tahan untuk melepaskannya. Hasil karya kalian yang dipajang lebih indah dan menawan bila dilihat langsung dengan mata daripada melalui layar handycam.

Amboi! Karya kalian bagus-bagus, elok-elok, dan sungguh suatu hasil karya anak-anak yang kreatif. Hebat sekali! Kalian menunjukkan kalau kalian adalah anak-anak yang tidak saja berbudi, pintar, cerdas, tetapi juga penuh imajinasi dan daya kreasi yang unik. Pak Adi terharu campur bangga, anak-anak SD Putra Bangsa khususnya Luminous dan Marvelous students memang hebat!

Suka cita Pak Adi tidak saja dari melihat hasil karya kalian, melainkan juga dari melihat kemampuan kalian untuk bekerja sama dengan teman-teman, dengan Ibu dan Bapak guru, dan dengan seluruh warga Sekolah Putra Bangsa. Dalam hal ini, kalian patut berterima kasih kepada Ibu dan Bapak guru karena telah dibimbing dengan sangat baik sehingga kalian mampu menyelesaikan proyek pameran hasil karya kreativitas siswa.

Harapan Pak Adi, semoga anak-anak belajar banyak dan mendapatkan pengalaman yang berharga dari proyek pameran ini. Di hari-hari mendatang,  para guru dapat merancang kegiatan yang lebih banyak melibatkan anak-anak dalam pelaksanaannya. Semoga anak-anak maju dengan pesat, semoga anak-anak bertumbuh kembang menjadi insan yang mampu (cerdas, terampil), jujur, dan berbudi luhur. Semoga yang terbaik datang pada kita semua.

Salam hangat,

Pak Adi

Sunday, March 3, 2013

Sebelum Meninggalkan Tanah Air

Ibu-Ibu dan Bapak Guru Tercinta,

Semoga dalam keadaan sehat, damai, dan sejahtera.  Belum juga berangkat, saya sudah dirundung kerinduan terhadap sekolah (baca: anak-anak, dinamika, dan para guru J). Tapi perjalanan spiritual ini memang selayaknya saya syukuri, karena perlu kekuatan banyak faktor untuk mewujudkannya. Oleh karena itu, sekali lagi lewat surat ini saya mohon dukungan doa dari para guru sekalian. Berikut ini adalah buah pikir yang muncul untuk saya bagikan.

Hari Minggu, saya sempat ikut kegiatan Car Free Day bersama anak-anak Putra Bangsa yang ikut lomba Senam Sehat Bangsaku. Kita diminta berpartisipasi untuk hadir dalam kegiatan senam massal. Di temani Bu Tika dan Bu Trisna, Lia (G5), Keisha (G5), Revaldo (G5), Fina (G4), Trista (G4), dan Tio (G2), kami bergabung dengan 28 sekolah seluruh kecamatan Klaten Tengah.  Sebelum kegiatan senam massal dimulai, saya dikejutkan oleh serombongan anak-anak kelas 4 yang hadir di lokasi dengan bersepeda. Ternyata mereka bersepeda pagi dihimpun oleh 3 orang guru, Bu Ningrum, Bu Kunthi, dan Bu Nisa. Terlihat juga beberapa orangtua siswa kelas 4. Saya memandang bahwa momen tersebut adalah sesuatu yang menggembirakan sekaligus mengagumkan. Guru dan murid dapat berkegiatan bersama dalam suasana informal merupakan indikasi betapa Putra Bangsa memang a homy schooling.

Ini mengingatkan saya dengan pengalaman pribadi ketika masih SD dulu. SD saya SD kampung. SD Inpres yang konon ‘cuma’ jadi SD cadangan jika SD utama tidak dapat lagi menampung murid-murid di suatu kecamatan). Yang menjadi kenangan manis adalah, bahwa guru-guru di sana amatlah bersahaja dan bersikap hampir sama dengan kita: bersahabat, hangat, dan peduli. Ada guru dari Jawa, Pak Maryanto, mengajar olahraga. Ada guru dari Padang, Bu Noerhaijah, mengajar Agama Islam. Ada Pak Ismail, orang asli Melayu- Muara Tebo, Jambi. Saya amat mensyukuri bahwa dalam kehidupan ini saya pernah berhubungan dengan mereka. Mereka yang mengajarkan saya tentang hidup dalam keberagaman, dan kehangatan pribadi seorang guru. Saya ingat pengalaman saya dengan Pak Ismail. Kami berdua, hanya berdua saja, menyusun dan menyemen bata-bata  taman di depan kelas kami. Pekerjaan itu kami lakukan selama 3 hari setiap siang usai jam sekolah hingga sore. Masih jelas di ingatan saya, ketika itu kami berdua bekerja hanya menggunakan singlet saja (kaos dalam), dan pada akhir hari pekerjaan, kulit tubuh kami sontak bersiluet singlet. Singlet warna kulit! Hahahaha…

Dengan Pak Maryanto, saya beserta beberapa orang teman kelas, menggalang tenaga untuk membantu beliau memberesi rumah barunya. Kami tidak saja membantu memberesi interior rumah Pak Maryanto, tetapi bagian paling serunya adalah saya dan teman-teman ikut membantu Pak Maryanto merubuhkan pohon kelapa tua yang dianggap ‘salah tempat’ di halaman rumah. Seru sekali… Kami semua merasa sangat jantan! Kelapa perkasa yang menjulang dapat kami rubuhkan. Ibu-Ibu, ternyata ada bagian akar kelapa yang rasanya manis. Kami sempat mencicipinya.

Hingga kini, kenangan-kenangan itu masih membekas. Poinnya adalah, anak-anak kita butuh momen-momen yang bisa menjadi kenangan indah bagi mereka. Sehingga jika mereka berada di saat-saat  yang sulit atau keadaan yang buruk, paling tidak kenangan yang kita ciptakan bersama mereka dapat sedikit (atau banyak) memberikan rasa damai, hangat, dan tenteram.

Kembali ke cerita senam.  Rencananya saya hanya menyaksikan saja, tetapi apa daya, terpaksa juga pada akhirnya ikut masuk ke dalam barisan senam. Saya berupaya untuk seminimal mungkin tidak menciptakan gerakan-gerakan sendiri yang aneh. Dengan tergopoh-gopoh, saya mencontoh gerakan Tio yang luar biasa enerjik (anak ini memang luwes sekali!).  Sementara itu, rombongan kelas 4 beserta guru-gurunya mengikuti senam di halaman hotel Grand Tjokro. Bukan hanya senam, mereka bahkan main petak umpet (atau sejenis itu) di halaman hotel. Aduh, Mak! Memang PD luar biasa! Halaman hotel mereka juga anggap halaman sekolah! Saya sampai punya anggapan, jangan-jangan Bu Ningrum, atau Bu Kunthi, atau Bu Nisa diam-diam punya saham di hotel Grand Tjokro.

Guru-guru yang saya kagumi, tetaplah semangat menjalani tugas masing-masing. Jika butuh apa pun yang sekiranya harus didiskusikan, datanglah ke Bu Endang. Beliau selalu siap membantu.
See you soon.


Dharmahouse, 3 Maret 2013
Jabat erat,

Adi

Friday, February 15, 2013

Tentang Performance Guru di Acara Valentine

Dear Wonderful Teachers,
Semoga dalam keadaan sehat dan bahagia.

Tulisan ini adalah tentang apa yang baru saja saya saksikan. Malam ini, saya menyaksikan bukan sekadar penampilan guru-guru sebagai pengisi acara, melainkan suatu kreativitas tingkat tinggi. Saya dengar dari Ibu sekalian bahwa proses kreatif hingga latihan untuk penampilan itu paling banyak 3 kali. Amazing! Dengan hanya berlatih beberapa kali  –dan bahkan ada yang bilang bahwa selama latihan malah tidak jadi-jadi– Ibu sekalian bisa menampilkan suatu penampilan yang bukan saja menghibur, tetapi juga menunjukkan bahwa Ibu sekalian memiliki keterampilan-keterampilan (khususnya di bidang seni). Tentu saja Ibu sekalian punya PD yang tinggi pada dasarnya. Jika tidak, mana bisa tampil “gila” dengan latihan yang cuma beberapa kali itu.

Bu Tika, tidak diragukan lagi power vokal-nya, beda tipis dengan Whitney Houston. Bu Rima, selain punya vokal dengan vibra yang khas, malam ini, dipandang dari sudut tertentu, Bu Rima memang tampak mirip dengan Titi Shuman. Bu Tiwi, memang punya potensi sebagai Guru penegak disiplin. Dengan segala potensi ke-misterius-annya, Bu Tiwi semakin gothic dengan dandanan hitam-hitam. Bu Esti, kita sudah tahu kehebatannya. Bu Esti memang berani ‘gila’. Kemampuannya untuk in dalam berbagai kondisi telah teruji. Bu Syah… eh, maaf.. Bu Lala, lepas dari segala kepolosannya, Bu Lala memang jagoan untuk urusan yang menyangkut mix and match, dandan-dindin, anggun-anggin.. hehehe…

Bu Elis, ternyata suara Ibu keren, baru kali ini saya dengar Ibu bernyanyi! Begitu pula dengan Bu Ningrum, vokal Bu Ningrum ternyata mendebarkan. Bu Budi, ternyata Ibu adalah biduan choir yang terlatih. Bu Nisa, kapan-kapan saya harus dengar Ibu nyanyi tunggal. Bu Kristin, baru tahu kalau Ibu bisa nyanyi, bagus.  Ibu berlima saja sudah menunjukkan bahwa bahwa betapa potensialnya guru-guru Putra Bangsa soal tarik suara. Lagu sederhana yang Ibu berlima bawakan menjadi elok dengan teknik paduan suara. Salut!!

Bu Ita! Wow, multi talenta ternyata… Orang Bali pasti bangga dengan tarian yang Ibu bawakan bersama dengan Bu Irene dan Bu Ratna. Tidak saja menunjukkan keanggunan, Ibu Ita, Bu Irene dan Bu Ratna mampu membuat parodi di atas keindahan tarian Bali. Saking berpadunya parodi dan serius, saya sempat menduga bahwa adegan kain Bu Ita hampir lepas terinjak merupakan ketidaksengajaan, tetapi ternyata memang bagian dari parodi. Kreatif, sungguh!

Ceribele!!! Aih… langsung saja saya membayangkan 3 anak TK A yang culun-culun beraksi! Bukan mainan saya ngakak gara-gara melihat penampilan Ibu bertiga! Ibu Kunthi, lincah pisan! Bu Puput, enerjik! Bu Trisna, wuihh… cool! (sampai saya pastikan lagi ekspresi Ibu bertiga melalui pengamatan foto). Menghibur sekali!

Nah.. Sang Jawara kontes! Trio apa, ya? Ah, ternyata Bu Katrin bisa begitu sangat ekspresif dan dramatis. Begitu pula dengan Bu Ana dan Bu Lestari. Bu Ana dan Bu Lestari ternyata bisa ‘gila’ juga! Penampilan Ibu bertiga bisa menjadi inspirasi bagi kaum manula bahwa sebenarnya usia bukanlah hambatan untuk bisa berkreasi. Salut!


T
idak henti-hentinya saya merasa kagum terhadap Ibu seluruhnya. Dengan kreativitas dan kepercayaan diri yang Ibu sekalian miliki, saya membayangkan betapa besar potensi Ibu-ibu untuk memberikan layanan pendidikan yang berbeda daripada umumnya. Dengan tingkat kreativitas yang sama dengan yang Ibu kerahkan untuk penampilan malam ini, saya membayangkan pembelajaran pasti akan menjadi amat menarik. Malam ini, saya bukan saja merasa terhibur, tapi sekaligus terinspirasi dari Ibu sekalian. Saya sempat ‘melayang’ (perasaan campur aduk: senang, bahagia, bangga, haru) tatkala Ibu sekalian menyanyikan lagu gubahan “Indomie” versi Putra Bangsa di penutupan penampilan. Elok nian… sungguh, elok nian!  Berdasarkan momen ini, saya akan katakan: bukan saja Putra Bangsa yang bangga memiliki Ibu sekalian, tetapi Indonesia pun patut berbangga, karena di sini, ada putri-putri negerinya yang cerdas, kreatif, tangguh, dan tentu saja… berbudi luhur.

Sekali lagi , salut saya buat Ibu-ibu sekalian!