Tuesday, July 10, 2012

Menumbuhkan Malu dan Takut untuk Mencegah Anak berbuat Jahat

Dear Teachers, 

Membicarakan tentang bagaimana mencegah Anak berbuat jahat atau bertindak tidak benar melibatkan banyak pertimbangan berbagai faktor sehingga membentuk kompleksitas tertentu. To prevent berarti bagaimana upaya awal (pre) agar sebuah kejadian (event) tidak terjadi. Upaya tersebut perlu dirumuskan secara  formal dan metodis di dalam pendidikan di sekolah.

Satu prinsip tua yang masih ampuh untuk mencegah orang berbuat jahat adalah dengan menumbuhkan rasa malu berbuat jahat/tercela (hiri) dan takut terhadap akibat perbuatan jahat/tercela (ottapa). Malu dan takut inilah yang perlu ditumbuhkan. Di level awam, agar punya malu berarti seseorang perlu ego, ego agar mudah disentil perlu diberi makan berupa pujian atau penghargaan, pujian atau penghargaan diberikan berdasarkan standar atau perbandingan. Nah, dari sinilah tugas seorang Guru, bagaimana menumbuhkan rasa malu melalui teknik pujian atau penghargaan dengan diikuti keseimbangan penumbuhan ego positif. 

Ego positif berupa kesadaran bahwa dirinya  adalah orang beradab, terpelajar, terhormat, dan luhur, sehingga mesti  melakukan sesuatu yang pantas dilakukan (baik). Pengembangan ego ini dimulai dari tahap kognitif melalui penjelasan guru. Guru meletakkan dasar pemahaman tentang diri, bahwa mereka adalah orang-orang terhormat dan terpelajar, sehingga tidak pantas bila melakukan sesuatu yang tercela.  Untuk menumbuhkan ego semacam ini di dalam diri siswa seorang guru membutuhkan “modal” yang harus disiapkan terlebih dahulu. Ibarat ingin menancapkan pasak beton raksasa untuk tiang jembatan dibutuhkan mesin penghujam hidrolik yang bekerja seperti palu yang bertenaga besar, demikian juga seorang guru yang ingin menanamkan dasar pemahaman diri kepada anak tentang kehormatan, harga diri, dan keadaban membutuhkan kepribadian guru sebagai insan bermartabat yang kuat pula. Guru pun harus mampu menjadi inspirasi kebajikan bagi muridnya. Setelah guru bermartabat menjadi inspirasi, di saat itu guru menjadi palu berkekuatan besar untuk menanamkan kesadaran pada siswanya tentang menjadi insan beradab, terpelajar, terhormat, dan luhur.

Setelah mencapai pengertian yang diinginkan, setiap praktik yang menunjukkan kehormatan, kebaikan, dan kepantasan yang dilakukan oleh siswa sepatutnya diberi penghargaan secara verbal maupun material. Penghargaan bagi murid SD kelas 1 s.d. 3 cenderung berwujud material. Walau sebenarnya mereka sudah bisa merasa puas dengan penghargaan secara verbal. Penghargaan nonmaterial bagi siswa yang lainnya bisa juga berwujud tanda-tanda yang dibentuk dari tubuh seperti misalnya, acungan jempol, senyuman, tepuk tangan, belaian, tepukan di pundak, dan lain sebagainya. Penghargaan bukanlah hal yang utama. Itu hanyalah jembatan agar anak menyeberang ke jalan kebiasaan. Setelah mereka terbiasa dengan praktik yang menunjukkan sikap beradab, terpelajar, terhormat, dan luhur, maka tanpa penghargaan khusus dari siapa pun mereka akan tetap berjuang menjadi beradab, terpelajar, terhormat, dan luhur.

Guru harus jeli mengamati siswa. Jangan ragu-ragu beri penghargaan untuk sikap terpuji yang mereka tunjukkan. Sebaliknya jangan tunda mengajak siswa untuk memperbaiki sikap ketika mereka melakukan sesuatu yang tidak baik. Jangan bosan menanamkan kesadaran pada siswa bahwa mereka diharapkan untuk menjadi insan beradab, terpelajar, terhormat, dan luhur.

No comments:

Post a Comment